Sebagai makhluk hidup, yang membedakan antara manusia dengan yang lainnya adalah kemampuan manusia menggunakan akal yang diberikan Tuhan untuk bertahan hidup, dan menjalani kehidupan di dunia. Dengan akal, manusia dapat mengelola informasi yang didapatkan dan menjadikannya sebuah pengetahuan. Walaupun kenyatannya spesies makhluk hidup di dunia ini kalau ditotal lebih banyak dari manusia, pada kenyataannya, yang lebih mendominasi dan ‘mengatur’ bagaimana dunia ini berjalan adalah manusia. Salah satu tesis yang menjelaskan dominasi ini adalah karena manusia memiliki kemampuan berkolaborasi dengan manusia lainnya. Kolaborasi tidak akan mugkin tercapai jika tidak ada komunikasi. Mengenai hal ini, Yuval Noah Hariri dalam bukunya Sapiens menjelaskan fenomena ini,
“Ants and bees can also work together in huge numbers, but they do so in a very rigid manner and only with close relatives. Wolves and chimpanzees cooperate far more flexibly than ants, but they can do so only with small numbers of other individuals that they know intimately. Sapiens can cooperate in extremely flexible ways with countless numbers of strangers. That’s why Sapiens rule the world, whereas ants eat our leftovers and chimps are locked up in zoos and research laboratories.”
Saya ingat, ketika awal-awal ide Kitabisa digodok Timmy di Rumah Perubahan, banyak sekali diskusi bagaimana sifat dasar kolektivisme masyarakat Indonesia. Pada beberapa suku bangsa kita menemukan budaya gotong royong, dengan berbagai bentuknya. Kita melihatnya pada bentuk kerjasama ketika momen-momen perayaan adat istiadat, ataupun misalnya tradisi masak bersama ketika ada salah satu tetangga/kerabat yang hendak menikahkan anaknya. Apapun bentuknya, pada artefak budaya ini, kita sungguh-sungguh dapat menemukan ‘bukti’ manusia sebagai makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial, maka representasi yang paling sederhana adalah setiap manusia, di dunia ini selalu memerlukan seorang teman manusia lain. Pada orang-orang introvert sekalipun, mereka tetap butuh teman. Hanya saja, cara bagaiman mereka berteman, karakter teman dan lingkaran pertemanan seperti apa, tentu diantara kita berbeda-beda. Lingkaran pertemanan ini, dimulai bahkan dari waktu yang sangat awal ketika masa perkembangan seorang anak. Diluar keluarga inti, kita ingat bagaimana masa kecil kita menoreskan ingatan mengenai teman bermain, di lingkungan rumah, hingga lingkungan sekolah. Seiring dengan berjalannya waktu, bersamaan juga lingkaran pertemanan kita bertambah. Pertemanan ini tidak selalu linear perkembangannya, sangat dinamis, bersadarkan momen-momen personal yang dialami setiap orang.
Sebagian kita memiliki memori bagus dengan pertemanan di SMA, sebagian lain mungkin tidak ingin mengungkit-ungkit masa SMA, karena merasa masa-masa kelam terjadi kala itu. Ada juga yang walaupun sudah bekerja dan tersebar dimana-mana, selalu meluangkan waktu untuk bertemu dengan teman-teman masa kuliahnya dulu. Kata orang, masa kuliah adalah masa-masa yang paling menyenangkan. Bagi orang-orang yang merantau, barangkali lingkaran pertemanan yang dibangun di tempat kerja lebih signifikan ikatannya dengan teman-teman masa sekolah. Hal ini karena lingkungan bekerja juga merupakan gerbang untuk fase kehidupan selanjutnya: berkeluarga. Banyak cerita dimana seseorang bertemu dengan pasangan hidup di tempat kerja.
Apapun itu, bahasan mengenai lingkaran pertemanan selalu terkait dengan hal-hal yang sangat personal dengan diri seseorang. Pada lingkungan yang kurang lebih sama, kita bisa saksikan dua orang yang memiliki lingkaran pertemanan yang berbeda. Kesamaan cara pandang, cerita latar belakang yang mirip, pengalaman menderita bersama, keselarasan visi hidup, hingga kenyamanan berinteraksi merupakan beberapa hal yang menjadikan setiap lingkaran pertemanan orang berbeda-beda dan unik. Lingkaran pertemanan yang kita miliki akan punya pengaruh kepada cara kita menjalani hidup, dan saya yakin pengaruhnya berlaku secara resiprokal, alias saling mempengaruhi. Saking pentingnya urusan pertemanan ini, dalam Islam, ada beberapa tuntunan pentingnya kita memiliki lingkaran pertemanan yang baik. Salah satunya adalah hadist masyhur yang sering diceritakan oleh guru ngaji kita,
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.”
(HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Pada beberapa waktu lampau, saya pernah berdiskusi dengan salah satu senior saya. Beliau dulu pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa pada zamannya. Kami biasa memanggilnya Cak Bono. Salah satu wisdom yang beliau ceritakan kepada saya adalah betapa pola pertemanan seseorang itu bisa berbeda tiap fase waktunya. Dahulu, mungkin indikator kesuksesan ataupun kecanggihan kita adalah ketika begitu bangga memiliki banyak teman. Semakin banyak, maka semakin baguslah ‘nilai diri’ kita. Tentu itu juga berbanding dengan popularitas. Kita begitu bangga kalau memiliki teman lintas kampus, lintas daerah, kalau perlu lintas benua. Beberapa diantara kita menjadikan pertemanan menjadi sebuah indikator yang memiliki andil besar dalam hubungan profesional atau bisnis. Semakin banyak yang mengenal dirinya, artinya semakin besar peluang dirinya untuk mendapat kemudahan berbisnis. Diibaratkan, hidup yang berhasil adalah hidup dengan lingkaran yang semakin besar.
Menurut Cak Bono, semakin seseorang menapaki karir profesional, semakin dalam berbisnis, semakin menjalani berbagai momen hidup, didapatilah kenyataan bahwa sesungguhnya lingkaran pertemanan yang besar itu tidak begitu bermakna jika relasi yang dibangun terasa hampa. Cak Bono dengan lugas mengatakan, “kalau dulu kita cari-cari teman, di zaman yang serba edan seperti sekarang, rasanya kita lebih butuh untuk ‘pilih-pilih’ teman.”. Berapapun besarnya lingkaran pertemanan kita saat ini, mari kita lihat, sedalam apakah lingkaran yang kita miliki? Jika kita yakin ini dalam, kemanakah dalamnya ini mengarahkan kehidupan kita? Apakah lingkaran pertemanan ini adalah orang-orang yang dengan tulus menjadikan trust sebagai currency? Atau barangkali banyak bagian dari lingkaran pertemanan kita dibangun atas asas transaksional kenyamanan pada kebahagiaan artifisial? Apakah mereka yang jadi garda terdepan ketika kita kesulitan? atau mereka hanya datang ketika mereka butuh kenyamanan dan kita dalam suasana senang?
Beruntunglah dan bersyukurlah kita, jika mendapati orang-orang dalam lingkaran pertemanan kita adalah yang dengan tulus mengingatkan jika kita salah. Mereka dengan sadar menutupi aib kita, bahkan jika kita alpa terhadap mereka. Mereka, teman-teman syurga inilah yang juga bisa menjadi saksi kebaikan kita di akhirat.
Sebagai sebuah penutup, marilah kita simak nasehat dari Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin tentang pentingnya ‘memilih teman’:
Akal merupakan modal utama. Tidak ada kebaikan berteman dengan orang yang bodoh. Karena orang yang bodoh, dia ingin menolongmu tapi justru dia malah mencelakakanmu. Yang dimaksud dengan orang yang berakal adalah orang yang memahami segala sesuatu sesuai dengan hakekatnya, baik dirinya sendiri atau tatkala dia menjelaskan kepada orang lain. Teman yang baik juga harus memiliki akhlak yang mulia. Karena betapa banyak orang yang berakal dikuasai oleh rasa marah dan tunduk pada hawa nafsunya, sehingga tidak ada kebaikan berteman dengannya. Sedangkan orang yang fasik, dia tidak memiliki rasa takut kepada Allah. Orang yang tidak mempunyai rasa takut kepada Allah, tidak dapat dipercaya dan engkau tidak aman dari tipu dayanya. Sedangkan berteman denagn ahli bid’ah, dikhawatirkan dia akan mempengaruhimu dengan kejelekan bid’ahnya.
(Mukhtashor Minhajul Qashidin, 2/ 36-37)