Bertahan hidup di kala pandemi dengan tetap menjaga kesehatan jasmani, rohani, maupun ekonomi jelas bukanlah perkara mudah; apa lagi untuk dihadapi seorang diri. Hal ini mungkin sulit untuk kita tampik: krisis besar-besaran dan tiba-tiba yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 telah membuahkan akibat yang mungkin tak pernah diperkirakan banyak orang sebelumnya dalam kehidupan mereka masing-masing.
Tak cukup sampai sana, krisis kali ini dihadapi orang-orang secara bersama-sama, tetapi, di sisi lain, secara simultan ia dihadapi dengan sendiri-sendiri pula. Salah satu cara menghadapi pandemi yang mengharuskan orang-orang saling menjaga jarak atau melakukan social distancing, entah itu dalam skala besar, seperti pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah atau lockdown yang dilakukan negara-negara lain, atau skala kecil dengan senantiasa menaati protokol kesehatan dan diam di rumah hingga keadaan stabil; keduanya tetap menghasilkan efek kesendirian yang besar untuk setiap orang. Pandemi dihadapi bersamaan, tetapi ia pula kita hadapi tanpa bisa bertemu orang lain.
Namun, terlepas dari skema social distancing yang membuat setiap orang makin berjarak dan kian sendiri, solidaritas sosial justru muncul dan marak terjadi di masyarakat seakan-akan pembatasan sosial bukanlah hambatan, melainkan sebuah wahana untuk berimprovisasi. Apa yang terjadi saat ini ialah kegiatan saling membantu di antara masyarakat menjadi hal yang makin marak dan lumrah ketika pandemi, terlepas bahwa ia kini memiliki wujud yang berbeda dengan solidaritas sosial pada masa sebelum pandemi. Tabir yang muncul dari social distancing justru membuka wahana baru bagi social solidarity.
Sebelum membahas lebih jauh tentang solidaritas sosial dan kedermaan di kala pandemi, kita coba untuk sedikit menelisik tentang apa itu solidaritas sosial. Bila kita merujuk pada Emile Durkheim, maka apa yang disebut sebagai solidaritas sosial ialah kohesi individu dengan masyarakat yang memperkuat tatanan dan stabilitas sosial. Ia menjaga kelanggengan antara orang-orang dan masyarakat, membuat mereka merasa bisa memperbaiki dan mengimprovisasi kehidupan orang-orang di sekitarnya (Durkheim, 1933).
Durkheim membagi solidaritas sosial secara dikotomis, yaitu solidaritas mekanis dan organis (Ritzer, 2010). Solidaritas mekanis muncul dalam masyarakat tradisional di mana ada kesamaan atau keserupaan antar individu, sedangkan solidaritas organik muncul dalam masyarakat modern di mana orang-orang memiliki perbedaan mengejar tujuan yang tak seragam pula.
Hingga satu dekade yang lalu, solidaritas sosial masih merupakan topik menarik yang dikaji oleh para peneliti. Teori-teori tentang solidaritas sosial berkembang, mendapat kritik, dan menemukan bentuk-bentuk barunya seiring dengan perkembangan masyarakat dalam masing-masing konteksnya. Apa yang menjadi titik tolak menarik bagi peneliti ialah pandemi Covid-19 dan pembatasan sosial. Pertanyaan yang kerap muncul dalam jurnal-jurnal seputar solidaritas sosial dalam satu tahun terakhir sejak munculnya pandemi ialah, bagaimana bentuk solidaritas sosial di kala pandemi mengaharuskan kita untuk melakukan social distancing?
Baca Juga: Kepemimpinan di Kala Pandemi: Altruisme sebagai Sebuah Jalan
Jawaban atas pertanyaan di atas sangat banyak dan beragam. Terlepas bahwa krisis yang kita hadapi ialah krisis yang sama-sama disebabkan oleh pandemi Covid-19, tetapi setiap negara dan wilayah memiliki konteks sosial yang saling berbeda. Sebagai contoh, penelitian Hjalmar Bang Carlsen di Denmark menyatakan bahwa support paling utama yang didapatkan masyarakat Denmark justru berasal dari grup-grup media sosial. Terlepas bahwa internet kerap dianggap sebagai penyebab kesesatan di kala pandemi dengan segala hoax-nya, pada penelitian tersebut dituturkan bahwa grup-grup media sosial membantu orang-orang yang tak memiliki jaringan yang memberdayakan dan memberkuasakannya. Sekat-sekat fisik dan sosial justru luruh dengan solidaritas sosial yang menggunakan wahana grup-grup media sosial.
Penelitian dari Mhairi Bowe, dkk, di Nottingham, Inggris, justru mendapati hal yang tak kalah menarik. Apa yang mereka dapati dari solidaritas sosial ketika krisis adalah bahwa orang-orang yang sebelumnya memiliki masalah mental karena pandemi justru merasa terbantu dan lebih baik ketika mereka membantu orang-orang di sekitarnya yang juga kesusahan. Rasa kesatuan dan saling bantu yang muncul ketika melakukan solidaritas sosial justru membantu orang-orang juga untuk memperbaiki kondisi kesehatan mentalnya.
Gambar 1. Kerangka Konseptual Solidaritas Sosial dan Tindakan Kolektif (Douwes dkk, 2018)
Gambar 2. Model Hirarkis Solidaritas Sosial (Igwe dkk, 2020)
Lain halnya lagi dengan Paul Agu Igwe dkk. Penelitian mereka melihat bagaimana suatu komunitas dapat saling membantu di kala pandemi. Penelitian ini sendiri dilakukan di beberapa negara di benua Afrika untuk melihat bagaimana solidaritas sosial terjadi di negara selatan dan negara dunia ketiga.
Hasil penelitian mereka membenarkan apa yang telah didapati oleh Douwes dkk sebelumnya bahwa tindakan individu dapat menghasilkan solidaritas sosial yang bermuara pada tindakan kolektif bila terdapat resprositas, semangat altruisme, dan kepercayaan. Apa yang membedakan ialah bahwa dari apa yang mereka teliti, ditemui bahwa komunitas rural lebih berfokus pada pencapain pengembangan komunitas dan menolong satu sama lain, sedangakan kekurangan kepercayaan di masyarakat urban membuat mereka hanya bergantung pada orang-orang dekat seperti keluarga dan teman (Igwe, 2020).
Terlepas dari tingkat kepercayaan yang berbeda di komunitas urban dan rural, semangat altruisme (tidak mementingkan diri sendiri dan selalu berhasrat untuk membantu hidup orang lain) senantiasa membantu setiap individu untuk mencapai tahapan solidaritas sosial. Resiprositas (hubungan timbal balik) pun menjadi kunci, meski dalam hal ini resiprositas yang muncul ialah bahwa ketika seseorang membantu orang lain, suatu saat hidupnya akan dimudahkan pula oleh orang lain, tanpa ia tahu kapan hal itu akan terjadi; atau lebih tepatnya bukan hubungan timbal balik yang transaksional dan instan, tetapi resiprositas yang altruistik pula.
Temuan lainnya adalah bahwa, di negara berkembang, solidaritas sosial adalah upaya utama dalam bertahan hidup. Hal ini terjadi sebab masyarakat di negara selatan ataupun negara berkembang tak bisa terlalu banyak berharap bahwa hidupnya di tengah krisis akan dimudahkan oleh pemerintah ataupun NGO. Apa yang dapat mereka lakukan justru saling membantu satu sama lain, berderma, membuat kegiatan volunteer, dan melakukan tindakan kolektif berdasarkan solidaritas sosial.
Bagaimana dengan Indonesia? Tanpa harus membaca lagi tulisan ini dari atas, apa yang terjadi di Indonesia bisa dibilang serupa. Masyarakat saling membantu melalui media sosial dengan beberapa platform seperti Jejaring Menang Bersama, Psikologi Bergerak, Warga Bantu Warga, Teman Bantu Teman, Kitabisa, dan lain-lain. Sedangkan di ranah lain pun solidaritas sosial dari desa hingga kota bermunculan dengan berbagai bentuknya, penelitian Didid Haryadi tentang solidaritas pangan Yogyakarta dan Ratih Probosiwi tentang Jogo Tonggo merupakan sedikit dari sekian banyak yang telah terjadi.
Di kala pandemi dengan krisis berkepanjangan yang berskala besar seperti ini cara bertahan hidup bukanlah mementingkan diri dan mencari keuntungan, melainkan melakukan solidaritas sosial dengan semangat altruis untuk saling membantu orang lain dan bersama-sama mampu menghadapi dan menjaga subsistensi di tengah krisis.
Referensi
- A pandemic of solidarity? This is how people are supporting one another as coronavirus spreads. (2021). Diakses pada 8 Agustus 2021, dari https://www.weforum.org/agenda/2020/03/covid-19-coronavirus-solidarity-help-pandemic/
- Andryanto, S. (2021). Pandemi Covid-19, Gerakan Solidaritas Warga Bantu Warga Meningkat. Diakses pada 13 Agustus 2021, dari https://nasional.tempo.co/read/1484904/pandemi-covid-19-gerakan-solidaritas-warga-bantu-warga-meningkat/full&view=ok
- Bowe, M., Wakefield, J. R., Kellezi, B., Stevenson, C., McNamara, N., Jones, B. A., … & Heym, N. (2021). The mental health benefits of community helping during crisis: Coordinated helping, community identification and sense of unity during the COVID‐19 pandemic. Journal of Community & Applied Social Psychology.
- Carlsen, H. B., Toubøl, J., & Brincker, B. (2021). On solidarity and volunteering during the COVID-19 crisis in Denmark: the impact of social networks and social media groups on the distribution of support. European Societies, 23(sup1), S122-S140.
- Davies, B., & Savulescu, J. (2019). Solidarity and responsibility in health care. Public Health Ethics, 12(2), 133–144.
- Douwes, R., Stuttaford, M. and London, L. (2018), “Social solidarity, human rights, and collective action: considerations in the implementation of the national health insurance in South Africa”, Health and human rights, Vol. 20 No. 2, pp. 185-196.
- Durkheim, E. (1915). The elementary forms of the religious life: A study in religious sociology. London: George Allen and Unwin.
- Durkheim, E. (1933). The Division of Labor in society. George simpson (trans.). New York: Free Press.
- Durkheim, E. (1947), “The division of labour in society. The free press glencoe”, dalam Evans, A. and Evans, A. (Eds), An Examination of the Concept of Social Solidarity, Mid-American Review of Sociology, 1977, Illinois, Vol. 2, No. 1, pp. 1429-4046.
- Durkheim, E. (1984). The Division of Labour in society (introduction by lewis Coser,translated by W.D. Halls), 1893. Houndmills: Macmillan.
- Haryadi, D., & Malitasari, D. N. (2020). Solidarity During Covid-19 Pandemic (a Case Study on the Social Action of Yogyakarta Food Solidarity and the Interfaith Network for Covid-19 Response). Jurnal Partisipatoris, 2(2), 58-74.
- Hechter, M. (2001). Solidarity, sociology of. In N. J. Smelser, & P. B. Baltes (Eds.), International encyclopedia of the social and behavioral sciences (Vol. 21, pp. 14588–14591). Oxford, UK: Elsevier.
- Igwe, P. A., Ochinanwata, C., Ochinanwata, N., Adeyeye, J. O., Ikpor, I. M., Nwakpu, S. E., … & Umemezia, E. I. (2020). Solidarity and social behaviour: how did this help communities to manage COVID-19 pandemic?. International Journal of Sociology and Social Policy.
- Kirschenbaum, A. (2004), “Generic sources of disaster communities: a social network approach”, International Journal of Sociology and Social Policy, Vol. 24 Nos 10/11, pp. 94-129.
- Lindenberg, S. (1998), “Solidarity: its micro-foundations and macro-dependence. A framing approach”, in Bianchi, F., Flache, A. and Squazzoni, F. (Eds), Solidarity in Collaboration Networks when Everyone Competes for the Strongest Partner: A Stochastic Actor-Based Simulation Model, The Journal of Mathematical Sociology, Vol. 44, No. 4, pp. 249-266, 2020.
- Lindenberg, S., Fetchenhauer, D., Flache, A. and Buunk, A.P. (2006), “Solidarity and prosocial behavior. A framing approach”, in Bianchi, F., Flache, A. and Squazzoni, F. (Eds), Solidarity in Collaboration Networks when Everyone Competes for the Strongest Partner: A Stochastic Actor-Based Simulation Model, the Journal of Mathematical Sociology, Vol. 44, No. 4, pp. 249-266, 2020.
- Local networks can help people in distress: South Africa’s COVID-19 response needs them. (2021). Diakses pada 6 Agustus 2021, dari https://theconversation.com/local-networks-can-help-people-in-distress-south-africas-covid-19-response-needs-them-138219
- Mishra, C., & Rath, N. (2020). Social solidarity during a pandemic: Through and beyond Durkheimian Lens. Social Sciences & Humanities Open, 2(1), 100079.
- Rakopoulos, T. (2016), “The other side of the crisis: solidarity networks in Greece”, SocialAnthropology, Vol. 24 No. 2, pp. 142-151.
- Ragam Donasi Bermunculan, Gerakan Solidaritas Teman Bantu Teman Ajak Masyarakat Peduli Penulis, Editor, dan Penerjemah di Indonesia yang Terdampak Covid-19 (2021). Diakses pada 10 Agustus 2021, dari https://nakita.grid.id/read/022828322/ragam-donasi-bermunculan-gerakan-solidaritas-teman-bantu-teman-ajak-masyarakat-peduli-penulis-editor-dan-penerjemah-di-indonesia-yang-terdampak-covid-19?page=all
- Ritzer, G. (2010). Sociological theory (8 ed.). New York: McGraw-Hill.
- Schiermer, B. (2014). Durkheim’s concept of mechanical solidarity: Where did it go? Durkheimian Studies, 20(1), 64–88.Stjernø, S. (2004). Solidarity in Europe: The history of an idea. Cambridge: Cambridge University Press.
- We Need Social Solidarity, Not Just Social Distancing (Published 2020). (2021). Diakses pada 8 Agustus 2021, dari https://www.nytimes.com/2020/03/14/opinion/coronavirus-social-distancing.html