Secara alamiah, dalam hidup seseorang, naluri untuk membangun sesuatu dari nol merupakan kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensinya sebagai makhluk hidup. Dalam spektrum yang sangat luas, dan rentang waktu yang panjang, seseorang bisa memiliki banyak momen dan pengalaman membangun apapun, mulai dari yang terlihat dan terukur seperti bangunan fisik hingga membangun sesuatu yang intagible (tidak terlihat), seperti membangun citra diri dan nama baik. Fenomena membangun ini kalau kita susuri merefleksikan variasi motif pada diri manusia.
Ilustrasinya begini, pada kasus dua orang yang membangun rumah tempat tinggal dengan modal sumber daya yang sama, ternyata didapati hasil yang berbeda. Orang yang pertama, membangun rumah karena adanya kebutuhan menjadikan rumah perpanjangan identitas dirinya, yaitu mengukuhkan posisinya sebagai orang yang ‘berada’. Jadilah ia membangun rumah yang serba mewah, lengkap dengan semua fasilitas tambahan yang mungkin jarang juga ia nikmati.
Pada orang kedua, rumah baginya merupakan pengejawantahan sanctuary places yang nyaman dan efisien dalam merawatnya. Bangunan yang cukup untuk anggota keluarga dan orang tua tercinta. Ia selalu berpikir bahwa rumah terbaik adalah rumah yang memberikan rasa nyaman dan aman, aman dari kemungkinan kecemburuan sosial, dan aman dari risiko-risiko pengelolaan yang melelahkan. Untuk dua aktivitas yang sama, kita bisa melihat adanya dorongan yang berbeda.
Dalam sebuah wacana klasik mengenai filsafat manusia, Satre mengatakan bahwa manusia selalu berada dalam konflik eksistensialisme. Buat Satre, konflik ini timbul ketika manusia mempertanyakan apakah hidup mereka memiliki makna, tujuan atau nilai-nilai tertentu. Kebingungan ini yang walaupun tidak selalu, seringkali menimbulkan spekulasi negatif mengenai kekhawatiran seseorang akan bagaimana dia dipersepsi orang lain. Untuk Satre, eksistensi selalu mendahului esensi – esensi merupakan hasil dari perbuatan bebas manusia.
Dengan meminjam konsepsi Satre diatas, mari kita refleksikan perjalanan hidup kita. Hingga usia kita sekarang, rasanya sudah puluhan atau mungkin ratusan momen pengambilan keputusan dalam hidup; keputusan mau bersekolah dimana, mau ambil tawaran pekerjaan yang seperti apa, ataupun keputusan berumah tangga. Mari kita jujur terhadap diri sendiri, kalau kita ingat-ingat, atas dasar apa saat itu kita mengambil keputusan? Pada ilustrasi membangun rumah diatas, begitu besarnya rayuan meningkatkan eksistensi diri, membuat batas takaran kewajaran memudar. Karena kecenderungan diri yang tidak pernah puas, esensi kita dalam membangun rumah, kalah oleh kebutuhan eksistensial kita menjadikan rumah sebagai atribut mobilitas vertikal yang artifisial.
Momentum bulan ramadan, menurut saya adalah salah satu perangkat yang Allah ciptakan, dimana manusia bisa memanfaatkan waktu sebulan penuh untuk berkontemplasi. Allah tahu bahwa pendorong (baca: nafsu) eksistensialisme manusia sesekali harus dilatih (paksa) untuk ditahan. Begitu pentingnya bulan Ramadan sebagai jeda, karena jeda ini dibutuhkan agar diri bisa mengambil ruang yang berbeda dalam melihat berbagai episode pertarungan esensi-eksistensi. Dengan perut lapar, lisan yang tertahan, imajinasi akan semua kenikmatan eksistensial bisa kita lihat dengan lebih jernih. Kita menjadi lebih ingat akan misi mulia sebagai pemimpin di muka bumi. Tetiba kita merasa malu membayangkan kadar kebermanfaatan untuk saudara-saudara kita. Dan mungkin kita tersadar, dari misi Rasulullah dalam menyempurnakan akhlak manusia, kita masih punya kesempatan mengajukan diri sebagai duta keteladanan umat akhir zaman. Selamat berkontemplasi. Selamat mengambil jeda.