Sebagian kita sangat mudah menuliskan loncatan ide, pemikiran, atau kilasan momen yang ada di kepalanya. Sebagian lain berjuang ekstra keras untuk hanya menuliskan satu-dua kalimat. Beberapa teman penulis yang dekat dengan lingkaran saya, rata-rata punya cerita personal kenapa mereka tetap menulis hingga saat ini. Saya ingat ketika baru masuk kampus, dalam salah satu orientasi beastudi Etos dari DD, salah satu pembicara, Tere Liye, bercerita tentang tulisannya di koran lokal yang memberikan kritik kepada pejabat/pemerintah daerah. Sebagian ada yang melalui perjuangan hidup dengan mencari nafkah dengan tulisan, bahkan sampai sekarang.
Dalam konteks kesehatan mental, banyak yang menjadikan tulisan sebagai sarana untuk menjaga kewarasan, bagian dari terapi alami yang memungkinkan penulis mencurahkan perasaan dan kondisi emosionalnya. Tidak sedikit karya besar tulisan lahir dari kondisi represi dan pergulatan ideologis, seperti yang dialami Hamka ketika melahirkan Tafsir Al Azhar ketika dipenjara ketika rezim Soekarno. Perjuangan di dalam bui merupakan hal yang disyukurinya. “Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Alquran 30 Juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu,”, merupakan kata-kata beliau dalam buku Ayah. Hamka tiada, namun karyanya tetap abadi. Itulah warisan yang sempurna.
Beberapa waktu belakangan, mentor-mentor saya, pak Rahmat, bang Salman, selalu ‘memaksa’ saya untuk kembali menulis. Saya selalu berpikir kalau menulis harus selalu dikaitkan dengan membaca buku. Apa yang mau ditulis kalau membaca aja malas? Intensitas baca buku saya yang rendah pun kemudian menjadi alasan yang sempurna untuk tidak menulis.
Saya lupa kalau membaca tidak melulu dari buku saja sumbernya. Pekerjaan yang kita lakukan, momen-momen yang dialami, hingga refleksi terhadap diri sendiri merupakan ‘bahan bacaan’ yang selalu ada didepan mata kita, setiap harinya. Kalau bahannya selalu tersedia, lantas apa kira-kira yang bisa membuat saya punya dorongan kuat untuk terus menulis? Saya baru menemukannya pagi ini, dan jawabannya sederhana; saya punya anak-anak sebagai generasi penerus. Mereka yang akan menjalani tantangan hidup, dan barangkali jauh lebih berat dari yang saya alami. Saya ingin mereka menyelami pemikiran orang tuanya tentang hidup dan kehidupan. Mengetahui apa yang berhasil, apa yang tidak berhasil dalam pekerjaan yang dilakukan. Memahami apa yang tersurat sekaligus tersirat. Mencari tahu dengan siapa saja orang tuanya bergaul dan mendapatkan pelajaran darinya. Dari tulisan, saya ingin anak saya juga bisa memahami bahwa hidup itu bisa naik dan turun, tapi selama keluarga kita tetap bersama dan kompak, maka itu jauh lebih penting dan wujud kesyukuran yang harus kita rawat dengan baik.
Warisan harta bisa hilang cepat. Namun warisan kebijaksanaan, pengetahuan, ilmu dalam tulisan akan senantiasa abadi. Semoga kita semua dikuatkan atas niat baik tulisan yang kita keluarkan sendiri.
Selamat hari Senin, dan selamat menulis!
IA