Bayangkan bagaimana satu tim bisa menyelesaikan sebuah masalah atau bahkan melahirkan inovasi ketika tim tersebut beranggotakan berbagai macam orang dengan latar belakang berbeda, ego yang saling bertentangan, dan kepentingan yang bermacam-macam. Hal itu sejatinya akan menjadi sangat susah ketika kelompok tersebut tak memiliki sosok pemimpin dan terus-terusan berjalan tanpa ada haluan yang jelas. Seseorang dengan kepemimpinan yang tepat niscaya dibutuhkan dalam kelompok tersebut agar masalah bisa terselesaikan dan inovasi lahir satu per satu.
Pertanyaan selanjutnya akan tiba ketika seorang pemimpin telah hadir dalam kelompok tersebut: kepemimpinan seperti apa yang dibutuhkan agar suatu kelompok dapat menyelesaikan masalah, menghadapi tantangan, dan melahirkan berbagai inovasi tanpa henti?
Menurut Linda Hill dkk, secara tradisional para pemimpin melihat peran mereka sebagai seseorang yang memberi visi atas strategi dan arahan suatu perusahan, atau lebih dari itu mereka mencari atau menjadi seorang jenius solo yang akan memiliki momen eureka dan mencanangkan arahan perusahaan.
Sayangnya, penelitian akademik selama tiga dekade terakhir telah mengonfirmasi bahwa inovasi kerap kali tak tercapai melalui cara-cara seperti itu. Justru, inovasi merupakan hasil dari pengorganisasian secara terstruktur tindakan-tindakan kolaboratif sehingga individu-individu yang berbeda dapat bekerjasama menuju sebuah inovasi yang menyeluruh, kata Hill dalam salah satu bukunya Collective Genius: The Art and Practice of Leading Innovation.
Hill telah meneliti berbagai perusahaan yang dapat berinovasi dan mempertahankan kesuksesan mereka. Salah satu kuncinya ialah mereka memperluas gagasan tentang apa itu inovasi dan siapa saya yang dapat berpartisipasi dalam membangunnya. Mereka menciptakan konteks organisasional dari inovasi yang membuat orang-orang dapat terlibat dalam proses inovasi. Perusahaan-perusahaan tersebut sangat mengapresiasi bahwa inovasi merupakan aspek organisasional.
“Organisasi-organisasi yang inovatif membutuhkan pemimpin yang membuat dan menjaga suatu lingkungan yang memunculkan irisan-irisan kejeniusan anggotanya dan mengombinasikan ‘collective genius’ itu dalam suatu kerja inovasi”
(Hill, 2014)
Pun, kerap kali orang lupa bahwa inovasi tidak datang tiba-tiba dari kekosongan yang meledak seketika. Inovasi diciptakan dari proses penuh percobaan dan kegagalan, kekeliruan, dan bahkan langkah-langkah yang salah. Pula, kebanyakan inovasi adalah kombinasi dan rekonfigurasi baru dari ide-ide lama yang diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah-masalah baru atau melihat kesempatan baru.
Pemimpin inovasi yang baik pun melihat dirinya bukan sebagai seorang yang visioner, melainkan arsitek sosial. Mereka memahami betul bahwa pekerjaannya adalah membuat konteks di mana orang-orang akan berhasrat membangun kultur suportif dan mampu untuk mencapai ketentuan tertentu dalam berinovasi. Mereka harus mengerti bahwa orang-orang pintar dan berbakat tak ingin mengikuti mereka, melainkan menciptakan inovasi bersama-sama dengan mereka. Pemimpin-pemimpin ini tak dapat memaksa orang-orang untuk berinovasi, tapi dapat mengorganisasikannya. Peran para pemimpin ini jelas-jelas berada di balik layar.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana seorang pemimpin menciptakan wahana bagi anggota kelompoknya untuk mulai bekerja sama dan berinovasi? Menurut Hill, untuk menciptakan wahana yang memungkinkan adanya collective genius, setidaknya dibutuhkan dua hal perlu disiapkan, yaitu kemauan (willingness) dan kemampuan (ability). Hill membagi dua kategori itu menjadi tiga bagian lagi; willingness terdiri dari tujuan (purpose), nilai bersama (shared value) dan aturan yang mengikat (rule of engagement), sedangkan ability terdiri dari creative abrasion, creative resolution, dan creative agility.
Pertama, yang perlu dibangun terlebih dahulu ialah kemauan dan ia dimulai dari rule of engagement. Rule of engagement terbagi atas dua kategori: pertama, bagaimana orang-orang berinteraksi, dan aturan-aturan dalam kategori ini menuntut orang-orang untuk saling percaya (mutual trust), saling menghormati (mutual respect), dan saling memengaruhi (mutual influence)—keyakinan bahwa semua orang dapat terlibat, ikut andil, dan bersuara dan bahwa bahkan mereka yang tak terlalu memiliki pengalaman ataupun tak memiliki jabatan juga harus diizinkan untuk memengaruhi keputusan tim. Kategori kedua adalah tentang bagaimana orang-orang berpikir, dan aturan-aturan tersebut mengharuskan orang-orang untuk mempertanyakan segalanya, berpikir berlandaskan data, dan melihat secara menyeluruh serta holistik.
Selanjutnya adalah tujuan. Tujuan di sini bukanlah tentang apa yang dilakukan kelompok tetapi tentang siapa yang berada di sana dan mengapa ia ada. Tujuan sepenuhnya merupakan perkara identitas kolektif. Tujuan membuat orang mau untuk mengambil risiko dan bekerja keras demi inovasi.
Aspek ketiga adalah nilai-nilai bersama. Untuk membentuk komunitas, setiap anggota harus setuju tentang apa yang menjadi hal penting. Dengan membentuk prioritas dan pilihan-pilihan kelompok, nilai-nilai memengaruhi pemikiran dan tindakan individu maupun kelompok. Setiap kelompok memiliki nilai yang berbeda, tetapi Hill mendapati empat nilai yang dibutuhkan organisasi inovatif: ambisi yang besar, tanggung jawab terhadap komunitas, kolaborasi, dan hasrat untuk belajar.
Setelah kemauan dibentuk, maka hal yang selanjutnya perlu dibentuk ialah kemampuan; untuk kolaborasi, dibutuhkan creative abrasion, atau kemampuan untuk menghasilkan ide dari debat dan pelemparan wacana; untuk pembelajaran yang didorong temuan-temuan tertentu dibutuhkan creative agility, atau kemampuan untuk menguji dan bereksperimen melalui refleksi, adaptasi, dan tujuan-tujuan cepat jangka pendek; dan untuk pengambilan keputusan yang integratif dibutuhkan creative resolution, atau kemampuan untuk membuat keputusan dengan menggabung ide-ide yang berbeda atau bahkan berlawanan.
Selain itu, dua hal yang penting dan niscaya bagi creative abrasion adalah keragaman intelektual dan konflik intelektual. Keragaman akan membuat tim-tim dengan perbedaan pendekatan untuk bergerak maju. Konflik juga sangat membantu untuk memperbanyak pertanyaan dan tantangan. Perdebatan intelektual menjadi hal yang sangat penting dan dibutuhkan dalam creative abrasion. Konfrontasi antar anggota dan terus-terusan mempertanyakan segala asumsi yang ada merupakan hal yang penting dalam proses ini.
Baca Juga: Kepemimpinan di Kala Pandemi: Altruisme sebagai Sebuah Jalan

Dalam creative agility, ada tiga fase yang perlu dilewati. Pertama tim harus mendapat ide-ide baru dengan cepat dan proaktif dengan berbagai eksperimen bersamaan. Pengumpulan data menjadi sangat penting pada fase ini. Kedua, tim perlu berefleksi dan belajar dari hasil eksperimen mereka. Ketiga, mereka harus membuat rencana dan tindakan berdasar dari hasil yang ada dan mengulang siklus tersebut berdasar pengetahuan baru hingga solusi yang jelas bisa didapatkan.
Ide untuk solusi baru dilahirkan dari diskusi dan konflik, dan solusi diuji melalui percobaan dan kegagalan. Langkah selanjutnya adalah creative resolution. Daya tahan dan kesabaran adalah hal yang penting dalam langkah ini. Salah satu tugas dari pemimpin, untuk hal ini, adalah membantu orang-orang memegang beberapa ide sekaligus. Yang menjadi sulit adalah: munculnya mentalitas untuk menyederhanakan ide-ide itu dan mengarahkannya menjadi satu ide. Seorang pemimpin diharapkan dapat membantu orang-orang menghindari mentalitas tersebut. Namun yang lebih penting lagi adalah menahan tekanan untuk membuat keputusan dengan cepat. Semakin sabar seorang pemimpin dalam menghadapi kompleksitas, semakin baik pula solusinya. Sangat penting untuk percaya pada proses. Ketiga proses ini, bila dilakukan dengan baik, akan menjadi modal yang penting untuk kemampuan menciptakan solusi dan inovasi dari sebuah tim.
Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa pada umumnya diasumsikan bahwa kepemimpinan yang baik adalah yang dapat menciptakan inovasi sembari mengarahkan suatu tim. Namun, kepemimpinan bukanlah perkara mengarahkan orang-orang ke titik tertentu, melainkan tentang membuat dan menjaga suatu wahana di mana kreativitas dan produktivitas bisa tumbuh dan berkembang. Itu adalah kunci kepemimpinan untuk menciptakan collective genius.
Terkadang pemimpin potensial tak pernah disadari karena gagasan-gagasan yang ada bahwa seorang pemimpin harus tahu lebih banyak dari orang lain, atau bahwa mereka harus bisa meyakinkan orang-orang dengan keras. Namun hal-hal itu bukanlah kunci bagi pemimpin untuk mencapai solusi dan inovasi dalam timnya.
Kepemimpinan merupakan kunci untuk inovasi. Seorang pemimpin menciptakan kondisi untuk inovasi, mereka menumbuhkan kemauan untuk mengubah, dan mereka membimbing kemampuan untuk mengarungi jalan-jalan baru untuk banyak hal. Seorang pemimpin tahu bahwa organisasinya harus memiliki kapabilitas atas creative abrasion, creative agility, dan creative resolution.
Referensi
Baer, L. L., Duin, A. H., & Bushway, D. (2015). Change Agent Leadership. Planning for Higher Education, 43(3).
Building a culture that stimulates ‘collective genius’ – I-CIO | I-CIO. (2021). Diakses pada 16 Agustus 2021, dari https://www.i-cio.com/big-thinkers/linda-hill/item/building-a-culture-that-stimulates-collective-genius
Collective Genius. (2021). Diakses pada 15 Agustus 2021, dari https://hbr.org/2014/06/collective-genius
Collective Genius and Innovation – Strategic Finance. (2021). Diakses pada 12 Agustus 2021, dari https://sfmagazine.com/post-entry/september-2015-collective-genius-and-innovation/
Franco, P. F., & DeLuca, D. A. (2019). Learning through action: Creating and implementing a strategy game to foster innovative thinking in higher education. Simulation & Gaming, 50(1), 23-43.
Frigo, M. L. (2015). Collective genius and innovation: everyone in the organization should collaborate. Strategic Finance, 97(3).
Hess, P. (2016). Collective genius. New Scientist, 231(3090), 29-31.
Hill, L. A., Brandeau, G., Truelove, E., & Lineback, K. (2014). Collective genius: The art and practice of leading innovation. Harvard Business Review Press.
Hynes, R., & Mickahail, B. K. (2019). Leadership, culture, and innovation. In Effective and creative leadership in diverse workforces (pp. 65-99). Palgrave Macmillan, Cham.
Kremer, H., Villamor, I., & Aguinis, H. (2019). Innovation leadership: Best-practice recommendations for promoting employee creativity, voice, and knowledge sharing. Business Horizons, 62(1), 65-74.
O’Hair, M. J. (2011). Collective Genius: Bridging the Gaps among Research, Innovation and Practice. Mid-Western Educational Researcher, 24(4), 5-9.
Taylor, A., Santiago, F., Hauer, J., Hynes, R., & Mickahail, B. K. (2019). Leadership, Growth, and the Future. In Effective and Creative Leadership in Diverse Workforces (pp. 101-153). Palgrave Macmillan, Cham.
Vlok, A., Ungerer, M., & Malan, J. (2019). Integrative leadership for technology innovation. International Journal of Technology Management, 79(3-4), 247-273.
Wang, X., Arnett, D. B., & Hou, L. (2016). Using external knowledge to improve organizational innovativeness: understanding the knowledge leveraging process. Journal of Business & Industrial Marketing.