Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun 2020 telah meletakkan kita dalam krisis berkepanjangan yang tak berkesudahan, entah hingga kapan. Pada tataran mikro hingga makro, ia telah memberi kita runtutan masalah yang silih berganti atau bahkan saling bertumpuk satu sama lain. Solusi paling realistis atas semua ini jelas ditunggu-tunggu untuk keluar dari krisis dan segera mencapai kestabilan. Namun, pada tataran kelompok, bukan hanya solusi dan aplikasinya saja yang ditunggu untuk keluar dari krisis; melainkan, bagaimana pula kepemimpinan yang dibutuhkan dalam kondisi krisis semacam ini?
Namun, pada kasus pandemi Covid-19, apa yang terjadi berbeda. Semua orang dituntut untuk keluar dari masalah yang tiba, paling tidak, untuk sekedar bertahan hidup. Di sisi lain, untuk kepentingan kelompok atau kepentingan bersama, kebutuhan pemimpin yang dapat menghadapi situasi semacam ini adalah suatu keniscayaan.
Maka pertanyaan selanjutnya adalah, di tengah tes bernama pandemi Covid-19 ini, kepemimpinan seperti apakah yang kita butuhkan? Jawaban atas pertanyaan ini sejatinya dibutuhkan oleh kita semua, sebagai bagian tanggung jawab moral warga negara untuk melakukan check and balances atas performa pemimpin publik Indonesia saat ini.
Terhitung sejak pertengahan 2020 hingga tulisan ini dibuat, ada banyak penelitian ataupun artikel populer yang membahas bagaimana kepemimpinan yang dibutuhkan dalam krisis skala besar seperti pandemi Covid-19, lengkap dengan studi kasusnya di masing-masing wilayah. Secara umum, kita dapat melihat ada benang merah yang ditangkap dari berbagai studi tersebut.
1. Kepemimpinan yang bersifat bottom-up dan terdesentralisasi
Dalam krisis besar dengan segala ketidakpastiannya, kepemimpinan yang cenderung tersentralisasi dan bersifat top-down justru harus dihindari sebisa mungkin. Kepercayaan terhadap setiap anggota kelompok untuk menyampaikan gagasannya, melakukan apa yang kiranya perlu, dan bertindak dalam jejaring yang penuh keleluasaan justru dibutuhkan untuk menciptakan suatu kelompok yang resilien terhadap krisis skala besar.
Kelompok dengan mode jejaring yang terdesentralisasi cenderung lebih luwes menghadapi masalah-masalah yang muncul secara tiba-tiba dan tanpa disangka-sangka. Pun, mereka bisa dengan cepat menanggapi perkara-perkara tertentu tanpa harus menunggu komando dari atas. Kepercayaan menjadi satu hal penting untuk membuat hal semacam ini berjalan dengan lancar.
Baca Juga: Belajar dari Abdi Negara
2. Pentingnya komunikasi yang jelas, lugas, singkat, dan transparan
Perkara komunikasi seorang pemimpin dalam menghadapi krisis menjadi satu hal yang sangat banyak dipertimbangkan dalam berbagai studi yang ada. Komunikasi yang cepat dan akurat sangat berguna untuk menangkal misinformasi di tengah krisis. Selain itu, kelugasan pernyataan dari seorang pemimpin diperlukan untuk tidak memperbanyak pertanyaan dan keambiguan dari kelompok yang ia pimpin. Semakin sederhana dan jelas komunikasi seorang pemimpin di tengah krisis, semakin mudah pula sebuah kelompok untuk bertahan di tengah krisis tersebut.
3. Merespon setiap kesalahan yang terjadi
Pada kondisi krisis seperti pandemi, semua masalah yang terjadi bisa jadi merupakan hal yang baru dan belum pernah ditemui sebelumnya; setiap masalah bisa jadi berbuah menjadi masalah-masalah berikutnya. Maka, merupakan hal yang wajar bahwa sistem yang telah dibangun dengan sedemikian rupa bagusnya pun masih mengalami kendala, betapa pun berkualitasnya sang pemimpin.
Bagaimana pemimpin merespon kesalahan adalah hal yang penting dalam hal ini. Mereka jelas tak boleh bersikap terlalu defensif atau bahkan mencari kambing hitam ketika kesalahan muncul. Justru, seorang pemimpin dituntut untuk terus berfokus pada tujuan dan melihat cara terbaik untuk memecahkan masalah tersebut. Hal yang harus ditekankan terus-terusan terhadap kesalahan adalah mendengarkan kelompok, mengakui kesalahan, dan mengarahkan semua orang terhadap cara pemecahan masalah yang terbaik dan bagaimana melakukannya.
4. Bertindak berdasarkan urgensi atau kemendesakan suatu masalah
Pada kondisi krisis, kesalahan yang kerap dilakukan ialah menunda penyelesaian suatu masalah yang mendesak untuk menunggu kondisi lebih tenang dan jelas di waktu yang tepat. Padahal, di sisi lain, penundaan penyelesaian terhadap suatu masalah yang mendesak atau memiliki urgensi tinggi justru bisa menimbulkan masalah-masalah lain yang tak tampak hingga kemudian hari. Pada kondisi krisis, penundaan penyelesaian masalah berkontribusi besar dalam membentuk kekacauan yang lebih besar. Bertindak secepat mungkin di situasi sulit adalah hal utama bagaimana seorang pemimpin di tengah kondisi krisis.
5. Terus terikat kepada kebaruan
Pada kondisi tidak pasti, serba cepat, dan serba berubah seperti pandemi, berdiam diri dan menunggu masalah selesai sesuai dengan perencanaan penyelesaiannya jelas merupakan sebuah kesalahan. Pandemi memaksa seseorang untuk terus berpikir di tengah ketidakpastian yang terjadi. Hal yang perlu digaris bawahi pada kondisi krisis semacam ini ialah bahwa semua solusi yang ada merupakan hal baru yang perlu terus-terusan diperbarui dan dibenahi.
Seorang pemimpin harus terus-terus memperbaiki pemahaman mereka atas segala kemungkinan yang ada dan memperbaiki strategi yang ada berdasar informasi-informasi baru yang senantiasa berubah dengan cepat. Mendengar usulan-usulan dari pihak lain pun adalah keniscayaan yang harus dilakukan karena sangat mungkin setiap orang mendapat informasi dan pemikiran yang berbeda di dalam krisis seperti pandemi.
Selain kelima poin di atas, satu keunikan yang muncul dalam pandemi ialah kemungkinan bahwa tindakan-tindakan altruis justru bakal lebih mudah untuk mengeluarkan seseorang atau kelompok dari krisis. Beberapa temuan justru mendapati bahwa berpikir transaksional dengan mengejar efisiensi dan efektifitas demi keuntungan segelintir orang justru tidak terlalu menyelamatkan dalam sebuah krisis. Mentalitas yang justru harus dibangun pemimpin di tengah krisis adalah: kita menghadapi masalah ini bersama-sama dan kita berbagi atas segala hal.”
Semangat altruistik, bagi seorang pemimpin, justru memudahkan mereka untuk membuat keputusan yang lebih baik di tengah kondisi yang serba semrawut. Pemimpin yang altruistik berpikir lebih sederhana karena tujuan mereka pun sederhana: kebaikan untuk semua orang di sekitarnya agar segera keluar dari krisis. Berfokus pada kebaikan bersama justru membuat proses pengambilan keputusan menjadi jelas, lugas, dan tepat sasaran. Karena pun di sisi lain, mentalitas fokus membantu orang lain untuk kepentingan bersama justru lebih cepat mengeluarkan kelompok dari krisis ketimbang mentalitas mencari keuntungan untuk segelintir orang yang cenderung, secara tidak sadar, mempertahankan kondisi krisis.
@ivanahda
Referensi:
Beilstein, C. M., Lehmann, L. E., Braun, M., Urman, R. D., Luedi, M. M., & Stüber, F. (2020). Leadership in a time of crisis: Lessons learned from a pandemic. Best Practice and Research: Clinical Anaesthesiology.
Caringal-Go, J. F., Teng-Calleja, M., Franco, E. P., Manaois, J. O., & Zantua, R. M. S. (2021). Crisis leadership from the perspective of employees during the COVID-19 pandemic. Leadership & Organization Development Journal, 42(4), 630–643.
Dirani, K. M., Abadi, M., Alizadeh, A., Barhate, B., Garza, R. C., Gunasekara, N., … Majzun, Z. (2020). Leadership competencies and the essential role of human resource development in times of crisis: a response to Covid-19 pandemic. Human Resource Development International, 23(4), 380–394.
Forster, B. B., Patlas, M. N., & Lexa, F. J. (2020). Crisis Leadership During and Following COVID-19. Canadian Association of Radiologists Journal, 71(4), 421–422.
Pang, L. L. (2021). Leadership and Crisis Communication During. (November 2020), 97–112.
Stefan, T., & Nazarov, A. D. (2020). Challenges and Competencies of Leadership in Covid-19 Pandemic. (November).