Ketika wacana mengenai generasi milenial ramai dibicarakan, barangkali angkatan 2003 (+/- 2 angkatan atasnya atau di bawahnya), termasuk angkatan yang agak kurang jelas kategorisasinya. Bisa dibilang kami adalah angkatan yang agak-agak di ujung milenialnya, hehe.
Terminologi generasi milenial dengan berbagai variannya, dapat ditemukan dengan mudah dari berbagai kajian. Masyarakat menjadi sadar, bahwa ternyata cohort usia yang disertai dengan konteks sosial budaya yang berbeda-beda akan melahirkan karakteristik yang khas. Kekhasan ini dapat menjelaskan perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari; sekolah, bekerja, berorganisasi, berbisnis, berkeluarga, dan bahkan dalam konteks yang lebih makro seperti aspirasi politik dan preferensi seni budaya.
Pada beberapa diskusi bersama Ivannanto, banyak refleksi tentang sejauh mana kami membangun relasi dan berinteraksi dengan berbagai macam latar belakang orang. Kami melihat bagaimana teman-teman satu angkatan atapun dalam satu cohort menjalani kehidupannya. Saya sering membayangkan, semakin berjalannya waktu, bukan tidak mungkin, masing-masing dari kita akan masuk dan terlibat lebih dalam dengan urusan-urusan yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Mulai dari karir profesional sebagai eksekutif di berbagai perusahaan, keterlibatan sebagai pimpinan birokrasi di berbagai institusi pemerintahan, imperium bisnis pada sektor strategis, hingga keterlibatan dalam gerakan sosial, kemasyarakatan atau bahkan politik.
Baca Juga: Belajar dari Abdi Negara
Salah satu hal di mana kami bersepakat, kami merasa bahwa dalam banyak interaksi, seringkali kami menjalani peran sebagai penghubung antara berbagai pihak. Penghubung yang dimaksud tidak hanya seperti urusan makelar atau broker, tetapi jauh lebih dalam dari itu. Banyak sekali urusan terkait dengan mengkomunikasikan gagasan, memfasilitasi kebutuhan atau pun menengahi konflik dilakukan pada orang-orang yang berbeda ‘generasi’. Perbedaan ini tidak selalu terkait dengan level jabatan atau wilayah otoritas, karena pada kenyatannya relasi sosial yang kami bangun menembus batas-batas urusan yang sifatnya transaksional.
Contoh sederhananya adalah bagaimana kami seringkali menjadi pendengar dari para senior yang ‘komplain’ dan gagap dalam memahami perilaku anak muda yang disebut milenial itu. Pada titik lain, anak-anak muda milenial inilah yang sering menjadi partner kerjasama dalam berbagai urusan, dan lucunya keluhan-keluhan seperti ‘ga bisa kerja dengan ritme yang lambat, kaku. dan semacamnya’ menjadi konsumsi yang rutin kami dengar.
Sesungguhnya, hal ini membuat saya beryukur bahwa dengan demikian, saya secara pribadi masih memiliki akses komunikasi yang baik kepada para senior dan junior di sekeliling kita. Betul bahwa gap generation itu nyata, namun saya personal memilih untuk menjadikan fakta ini sebagai pendorong untuk mengeluarkan usaha lebih untuk mensinergikan dan mengkolaborasikan potensi yang ada pada keduanya. Seperti dalam salah satu pepatah yang masyhur; kebijaksanaan orang tua dan semangat anak muda, saya percaya bahwa sudah menjadi tugas kita untuk bisa melihat kebaikan pada siapa pun. Inovasi dan kecepatan kita serahkan kepada yang lebih muda, karena mereka lebih paham tentang dunia berjalan saat ini. Namun kebijaksanaan, cerita kesabaran, komitmen dan integritas adalah komponen penjaga yang tidak boleh hilang pada dunia yang saat ini serba cepat.
Sekitar 3 tahun yang lalu, saya memutuskan untuk maju menjadi calon Ketua Umum ILUNI UI. Berbeda dengan kebiasaan umumnya latar belakang kandidat yang selalu berasal dari tokoh nasional, salah satu visi saya maju adalah agar kontestasi tidak hanya berisi pertarungan klaim latar belakang yang tidak terkait program ILUNI. Saya dan teman-teman ingin mendorong agar percakapan yang terjadi lebih banyak didominasi dengan ide dan gagasan kebaruan kemajuan untuk ILUNI.
Saat itu saya menyadari, bahwa banyak sekali karya para alumni yang tersebar, potensi yang luas namun belum terasa mengumpul dan dirasakan almamater. Jadi saya berpikir, daripada saya keukeuh membangun mercusuar, mengapa tidak saya fokus membangun jembatan yang bernama ILUNI UI, dan sebisa mungkin menyambungkan berbagai mercusuar alumni yang sudah tersebar dalam berbagai bidang. Walau saya kalah dalam kontestasi, tapi tujuan strategis – menciptakan percakapan program, mendorong spirit kolaborasi, menjembatani aspirasi- kami yakini tercapai dalam prosesnya. Oiya, salah satu program kami yang bernama UI Connect pun diadopsi oleh kepengurusan ILUNI terpilih, di mana saya juga terlibat masuk di dalamnya sebagai Kepala Communication Center.
Ada banyak godaan, juga tantangan untuk mengambil peran sebagai ‘jembatan’. Saya banyak mendapatkan filosofi ini dari kedua mertua saya. Ketika banyak orang mengambil peran utama membangun sebuah gerakan, kalau memang kita dibutuhkan untuk mendukung dari belakang, menjembatani kekuatan, maka ambillah peran itu. Setiap peran pastilah mulia, kita yang menjalani peran sebagai jembatan pun kadang harus siap untuk tampil di depan, karena tidak semua peran sebagai jembatan berada di belakang layar. Belakangan saya sadar, pilihan ini bukanlah menunjukkan kelemahan, namun kadang peran ini hanya bisa diambil oleh orang-orang yang cukup kuat menjadi penopang berbagai misi yang mnelintas untuk tujuan yang lebih besar.
Berapa banyak orang-orang kesayangan, rela menjadi jembatan keberhasilan kita, sementara mungkin apresiasi dan popularitas yang dicapai melenakan untuk kita nikmati sendirian.
Jika ke depan ada kesempatan, janganlah lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada para jembatan hidup yang memudahkan urusan kita. Sedikit dari kita akan bermakna banyak bagi mereka.
Baca Juga: (Bukan Hanya) Kerja Keras
Jangan lupa juga untuk mengucapkan terima kasih kepada diri ini yang masih dengan setia menjalankan peran jembatan. Setiap momen, persimpangan keputusan akan menjadi jeda refleksi untuk dimanfaatkan; apakah kita akan mengambil peran berbeda, atau peran yang sama dengan energi yang terbarukan?
Apapun pilihannya, InshaAllah doa terbaik untuk semua kesempatan yang akan datang di masa depan