Kata orang, sejarah itu berulang. Peristiwanya mungkin tak persis sama, namun suasana yang terjadi, faktor pemicu, akibat yang ditimbulkan dalam satu peristiwa itulah yang seolah memiliki benang merah yang sama. Termasuk kegagalan dan keberhasilan yang menyertainya. Dalam pidato politik terakhirnya di tahun 1966, Bung Karno tegas sekali menyatakan, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”, hal ini merujuk agar bangsa tidak melupakan pengalaman dan pelajaran yang menyertainya.
Demikian kita dalam kehidupan sehari-hari, walau dengan setting berbeda dan fase waktu yang tidak sama, beberapa peristiwa dalam hidup yang dialami, seringkali berupa repetisi momen hidup. Namun dengan aktor yang berbeda-beda. Kita pernah punya sahabat dekat ketika sekolah namun akhirnya harus berpisah jalan karena berkonflik. Peristiwa itu kemudian muncul lagi dalam fragmen lain di tempat kerja. Kita pernah berhasil mengalahkan ego kita untuk meraih masuk kampus unggulan, dan kita mengalaminya lagi ketika kita melewati rangkaian tes masuk kerja yang sulitnya minta ampun.
Ada dua case yang ingin saya bagi, yang berasal dari salah satu sesi mentoring yang saya lakukan. Orang pertama, menceritakan keinginan dia resign dari tempat kerja sekarang. Dia merasa bahwa rekan kerjanya tidak menerima kalau dirinya akan dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi. Sehingga dia merasa tidak nyaman untuk melanjutkan kerja di tempat sekarang, dan akan lebih baik jika dia resign. Dia merasa lebih sehat mental dan akan nyaman bekerja, walau itu berarti melewatkan kesempatan tersebut.
Orang kedua, bercerita tentang proses pernikahannya yang terancam, karena belakangan dia merasa calonnya gak cocok dan dia khawatir pernikahannya tidak akan bertahan lama jika proses ini diteruskan. Keduanya berada pada situasi konflik dan pengambilan keputusan, yang akan mempengaruhi jalan hidup mereka ke depannya.
Pernah gak kita merasa kalau masalah yang kita hadapi ‘itu-itu’ aja? Lepas dari satu masalah dan merasa sudah berhasil berlepas diri dari situasi tidak mengenakkan. Tidak lama, kita bertemu lagi situasi seperti masalah sebelumnya. Dan yang berbeda hanyalah konteks dan orangnya, tapi secara isi masalahnya, kalo boleh jujur, kok sama ya?
Oiya, dua kasus diatas, ternyata itu bukan pertama kalinya mereka mengalami masalah tersebut. Keduanya pernah menceritakan masalah yang mirip-mirip dalam waktu yang berbeda. Setiap selesai sesi mentoring, mereka lah yang menentukan sendiri action plan yang mau diambil.
Pada kasus pertama, orang ini termasuk yang beberapa kali resign, dengan durasi pekerjaan yang kurang dari setahun. Alasannya? Mulai dari atasan yang tidak suportif, pekerjaan yang bukan passion, hingga insentif yang kurang.
Untuk orang kedua, beberapa kali saya mendengar cerita penolakan/tidak jadi berproses dengan pola yang mirip; galau menjelang proses yang lebih serius. Saya curiga, apa jangan-jangan ini fear of commitment, alias tidak siap untuk menjalani hidup berkeluarga?

Ibarat peribahasa, semakin tinggi pohon menjulang, semakin kuat angin yang menerpa. Coba kita jujur, apakah ‘angin’ yang menerpa kita dalam perjalanan hidup kita 5 tahun yang lalu dengan hidup yang sekarang berbeda? Jangan-jangan karakter anginnya sama-sama saja? Atau hanya dengan tiupan angin yang lemah, seakan-akan semua daun bersiap untuk rontok ke tanah?
Permasalahan merupakan salah satu pintu ujian untuk bisa naik kelas dalam kehidupan ini. Beberapa orang bahkan ujian naik kelasnya bukan masalah, namun berkelimpahan dan kesenangan. Namun hasil keduanya selalu sama; bagi yang gagal ujian, akan tetap tinggal di tempatnya. Kalau tidak ada perkembangan, mungkin sekali malah terus turun kelas.
Namun bagi yang berhasil, dia akan segera menemukan dinamika baru. Apakah tetap ada ujian? Tentu dong. Hanya saja ujiannya berbeda; tingkat kompleksitasnya soalnya dan pilihan jawaban yang tersedia.
Bagi kita yang saat ini merasa terganggu dengan permasalahan yang itu-itu saja, baik dalam bisnis, keluarga, relasi sosial, personal, barangkali kita belum benar-benar menuntaskan hingga ke akar masalahnya. Kita hanya mengambil solusi temporer, atau mencari kambing hitam, untuk lari dari kenyataan dan menyangkal bahwa ada sesuatu yang lebih besar untuk dituntaskan.
Percayalah, sampai kapanpun, pola masalah ini akan terus muncul sampai kita benar-benar bisa berdiri tegak menyelesaikannya.
Kita tidak berani menghadapi kenyataan bahwa mungkin kita harus rela melepas, untuk dapat menerima, melambatkan sedikit untuk bisa merasa. Tidak semua cepat bermakna lebih baik, dan lebih berarti mulia.
Mumpung ada kesempatan berjeda, mari mencari akar masalah dengan lebih jernih, dan berharap kali ini kita benar-benar bisa menyelesaikannya.