Pernah gak sih kita keinget masa-masa dimana kalau kita punya ide atau keinginan langsung kita lakukan, gak begitu banyak pertimbangan? Walau nekat dan berani tipis bedanya, kita merasa semua pikiran kita begitu plong dengan ide yang datang tak henti-henti. Siapapun berani kita hadapi. Walau mungkin awalnya deg-degan, tapi akhirnya bisa juga tuh kejadian.
Coba deh pikiran, berbicara tentang sumber daya yang kita miliki saat itu. Apakah saat masa-masa itu terjadi, sumber daya kita lebih baik dari sekarang? Saya yakin salah satu momen di antaranya, merupakan saat kita gak punya apa-apa.
Dalam salah satu kesempatan, salah satu anggota tim Maxima, Salim, yang punya inisiatif keren bernama Popcorn (komunitas edukasi anti pornografi), memberikan satu pertanyaan yang sulit:
“Saya penasaran, apa yg membuat Bang Ivan berani dan mau berada di dalam tekanan dan kegagalan Bang? Dan gimana sih cara mengatur kondisi emosi kita ketika dalam tekanan?”
Untuk menjawab pertanyaan Salim, pikiran saya berkelana ke masa lalu. Saya cerita ke Salim bahwa jawabannya mungkin karena Allah ngasih banyak ujian ke saya. Simpelnya, saya gak punya pilihan selain mengambil tawaran apapun. Baik yang datang, ataupun harus saya jemput sendiri. Saya sadar, saya gak punya sumber daya sebaik orang lain. Fasilitas, jaringan, uang, bukan sesuatu yang dalam waktu cepat bisa didapatkan.
Ketika saya diterima di SMAN 8 Jakarta, ibu saya mengajukan keringan pengurangan uang sekolah, dan hasil pengurangannya pun kami minta dicicil. Seinget saya, uang masuk sekolah sudah 3 juta rupiah. Untuk bayaran sekitar 125 ribu per bulan. Saya juga mengajukan untuk ikut proses seleksi beasiswa dari sekolah. Keluarga saya bisa bayar 2 bulan walau dengan ngos-ngosan.
Syukur Alhamdulillah, setelahnya saya mendapatkan beasiswa uang sekolah, yang membuat saya tidak perlu membayar lagi, hingga lulus sekolah. Saya mendapatkan beasiswa dari perusahaan asing asal Skotlandia, yang mencari siswa SMAN 8 untuk diberikan beasiswa. Selain saya, ada sekitar 5 orang lain yang mendapatkan beasiswa, dan salah satunya sekarang sudah menjadi peneliti handal internasional, namanya Bramasta Nugraha.
Yang bisa saya andalkan adalah kesempatan untuk berusaha. Karena itulah, saya jarang berpikir panjang ini akan berhasil atau gagal. Satu kesempatan yang saya butuhkan inilah yang saya gatau akan ada lagi di masa depan atau tidak. Coba kita pikirkan, kalau dalam hidup kita terus menerus diberikan kesempatan, bisa jadi kita menjadi kurang sensitif, dan ujungnya menjadi tidak totalit dalam berusaha. Ingat bahwa gak semua orang bisa mendapatkan kesempatan seperti yang kita miliki.
Jadi perihal mau berada dalam tekanan dan kegagalan, sebenarnya lebih kepada keterpaksaan. Membangun keterdesakan itu penting untuk memunculkan sense of urgency, dan membuat lebih fokus dengan apa yang dihadapi di depan mata kita. Ini sesederhana memperbanyak jam terbang berada dalam situasi yang menekan.
Apakah semua hal yang dilakukan ini berhasil? Tentu saja tidak. Justru karena banyak gagalnya, makanya kita bisa belajar dari hard lesson. Kalau saja, dari sekian banyak kegagalan, tapi kita masih mendapatkan kesempatan untuk melakukannya lagi, janganlah menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ini yang saya katakan kalau banyak sekali orang baik di luar sana yang menjadi jembatan kesuksesan kita.
Perihal regulasi emosi, menurut saya manusia diberikan karunia dari Allah untuk bisa belajar dan beradaptasi. Jadi sejauh yang saya ingat, pembelajaran terbaik adalah dari pengalaman kegagalan itu sendiri.
Selama ini, jangan-jangan kita selalu merasa ada safety net atau way out, yang membuat usaha kita belum benar-benar optimal. Setiap orang rasanya punya pengalaman bagaimana perbedaan usaha yang dikerluarkan ketika survival mode. Semua daya, upaya akan dikerahkan, termasuk hal-hal yang dahulu mungkin gak pernah kebayang akan dilakukan.
Nostalgia boleh, namun kita hidup di masa sekarang. Tentu situasi berbeda-beda bagi setiap orang. Bagi yang sudah berkeluarga tidak bisa lagi sembarangan mengambil risiko, apalagi jika risiko tersebut belum disepakati pasangan. Jangan juga merasa bahwa hidup harus dibuat lebih susah ketika kita mendapatkan kemudahan. Bersyukurlah kita yang memiliki keluangan sumber daya, ataupun keberlimpahan. Kita bisa menggunakannya untuk memberikan manfaat seluas-luasnya.
Jangan berkecil hati, bagi yang merasa tidak memiliki sumber daya sebaik orang lain. Walau mungkin fisik, kekuatan, dan daya gedor tidak sekuat dulu, tapi kita harus bisa jalan terus. Semangat jalan terus ini penting, karena tidaklah sama, nilai orang-orang yang terus berusaha, dengan orang yang hanya berpangku tangan.
Untuk itulah, manusia diberikan akal untuk selalu bisa memikirkan strategi hidup bertahan. Dan jika situasi mungkin tidak terkendali, selalu ingat bahwa kita memiliki sebaik-sebaik safety net: Allah.