Sekitar tahun 2011, saya pernah bekerja pada dua tempat sekaligus; menjadi program officer Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI (fulltime) dan bekerja part timer sebagai modul training specialist pada Kubik Leadership. Saat itu intinya, Kubik sedang mengembangkan satu modul baru terkait dengan transformasi budaya.
Saya ingat rasanya modul program ini belum pernah dimiliki Kubik, dan isu transformasi budaya juga belum seriuh saat ini. Dalam pembuatan modul ini, saya dibimbing langsung oleh Mas Indrawan Nugroho, CEO Kubik saat itu.
Siapa pun yang pernah merasakan kerja bersama Mas Indra tentu tahu kalau beliau selalu penuh dengan ide-ide baru. Bisa dibilang intuisinya melampau zamannya. Ada dua proses pekerjaan yang berkesan selama saya mengerjakan modul internalisasi nilai-nilai perusahaan energi tersebut.
Saat itu Kubik diminta untuk membuat training program selama 2-3 hari, yang misinya adalah memperkuat internalisasi nilai-nilai perusahaan tersebut. Perusahaannya cukup unik, karena salah satu nilai yang cukup kental adalah nilai-nilai cinta tanah air. Tantangannya adalah bagaimana membuat sebuah training nilai perusahaan tapi tidak normatif, alias tidak basa basi dan hanya teori. Selain itu, bagaimana agar framework keilmuan yang sudah dirumuskan Kubik bisa selaras dengan framework nilai organisasi tersebut.
Masa-masa awal pengerjaan, saya dibuat jungkir balik dengan berbagai konsep. Mencoba memahami konsep Kubik secara paralel sekaligus menggali pendalaman nilai-nilai perusahaan tersebut. Saya melakukan wawancara kepada petinggi perusahaan, mencari cerita hidup dari para senior perusahaan yang bisa ‘membuktikan’ bahwa nilai-nilai perusahaan yang ada itu memang relevan. Bongkar pasang materi, pendalaman riset dilakukan terus menerus, dan seakan tidak pernah selesai.
Mungkin peribahasa yang paling tepat menggambarkan situasi saat itu adalah “jalan dulu aja”, karena untuk seuatu hal yang baru, yang dibutuhkan adalah proses iteratif tanpa henti. Fisik dan mental saya waktu itu terkuras habis. Utamanya karena saya menjalani dua pekerjaan dalam satu waktu. Sampai-sampai saya ingat bilang ke istri saya dalam keadaaan mau menangis, “Cari uang susah banget ya”, hehe.
Tibalah momen of truth ketika akhirnya training-nya jadi dilaksanakan di batch pertama. Oiya saya lupa bilang, kalo salah satu hal gila lain yang kita buat adalah konsep adventure journey, semacam urban outbound, yang saya yakin banget waktu itu di Jakarta belum ada atau belum banyak yang menggunakan konsep ini dalam program pelatihan.
Sesi di kelas berjalan lancar dengan semua grasa grusu-nya. Maklum, selalu ada pertama untuk program yang baru. Khusus untuk saya, itu semua pengalaman serba baru; buat materi corporate, interview petinggi perusahaan, hingga melakukan briefing program pada fasilitator kelompok. Iya, jadi saya harus melakukan briefing kepada teman-teman fasilitator Kubik, khususnya untuk segmen adventure journey keesokan harinya.
Jujur, saya lebih deg-degan untuk adventure journey. Selain baru pertama kali di Kubik, hal lain adalah level kompleksitas persiapannya: mulai dari mengurus perizinan polisi, melobi satpam kantor, membujuk pedagang kaki lima, mengatur waktu perpindahan, hingga memastikan keamanan dalam mobilitas peserta melalui angkot. Heboh dan seru pastinya! Training akhirnya selesai sore hari dan dilanjutkan dengan sesi evaluasi.
Bagaimana evaluasinya?
Kacau!
Saya ingat betul, banyak sekali komplain terkait dengan adventure journey. Beberapa komplain terkait skenario permainan yang kurang detail, informasi yang tidak standar, peralatan yamg kurang, antisipasi rencana darurat yang tidak ada, dan semua macam kritik dan evaluasi tajam yang cukup membuat wajah dan telinga kita memerah karena menahan malu. Di akhir sesi, saya ingat dikuatkan oleh supervisor saya saat itu, Pak Agus, bahwa evaluasi itu hal biasa dalam sebuah pelatihan. Apalagi pelatihan pertama dengan konsep baru. Saya yang waktu itu cukup terguncang, pulang dengan perasaan gundah, dan menimbang-nimbang, apakah pekerjaan ini layak untuk dilanjutkan?
Apa yang lantas terjadi? Saya melanjutkan pekerjaan ini, hingga akhirnya pun saya benar-benar bergabung dengan Kubik Leadership secara full time. Pelatihan ini pun terus terselenggara hingga lebih dari 11 angkatan, dan seingat saya mendapatkan kredit baik dari klien yang bersangkutan.
Masa-masa ini saya akui cukup membentuk diri saya dalam merespon berbagai tekanan dan tantangan. Belajar untuk bisa melewati masa-masa sulit dan belajar untuk memperbaiki kesalahan. Saya menikmati belajar dibawah Mas Indra, karena selalu ada hal baru yang dipelajari, dan tentu saja, tantangan unik lainnya yang entah darimana inspirasinya, hehe.
Anyway, selalu ada yang pertama untuk kita semua dalam kehidupan ini. Pertama memasuki tempat belajar baru, tempat kerja baru, hidup bersama dengan manusia baru setelah menikah. Pertama melakukan kesalahan, pertama menjadi orang yang berhasil dalam sebuah tantangan.
Emosi negatif berlebihan akan membuat kita berhenti dan kalah sebelum berjuang lebih lama. Kegembiraan berlebihan karena berhasil akan membuat kita lengah dalam menempa diri.
Apapun itu, kita hanya terus bisa terus berusaha; kadang berlari, kadang tertatih, kadang dalam tepuk riuh, kadang dalam cemooh, karena pada akhirnya sabar dan syukur selalu menjadi jawaban semua usaha kita.